Kamis, 14 Juli 2016

seputar pernikahan

jika anda ingin tahu lebih banyak tentang seputar pernikahan maka kami membantu untuk bisa link ke salah satu kantor urusan agam (KUA) di kabupaten nganjuk.
klik di sini untuk seputar pernikahan

Minggu, 06 Juli 2014

BELAJAR AL QURAN

Dalam rangka membantu belajar Al Quran, saya memasang link dibawah ini, semoga bermanfaat

Belajar Al Quran Klik disini : BELAJAR AL QURAN

Senin, 02 Mei 2011

skripsi tarbiyah : tanggung jawab orang tua terhadap anak menurut ajaran agama islam

TANGGUNG JAWAB ORANG TUA TERHADAP ANAK MENURUT AJARAN AGAMA ISLAM : KAJIAN TAFSIR SURAT LUQMAN AYAT 13, 16, 17
DAN SURAT AT TAHRIM AYAT 6

SKRIPSI





Oleh :
RIFAI KARYAWANSAH





NIM : 20068001O427
NIMKO : 2006.4.080.0001.1.02681




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAI) DIPONEGORO TULUNGAGUNG
2010












ABSTRAK






Oleh: Rifai Karyawansah, 2010, NIM : 20068001O427 NIMKO : 2006.4.080.0001.1.02681 dengan judul “Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak Menurut Ajaran Agama Islam : Kajian Tafsir Surat Luqman Ayat 13, 16, 17 Dan Surat At Tahrim Ayat 6”. Program Studi Pendidikan Agama Islam, Jurusan Tarbiyah, SekolahTinggi Agama Islam (STAI) Diponegoro Tulungagung, Pembimbing : Drs. Muhtarom, M.A
Keluarga yang terikat dengan suatu pernikahan yang sah merupakan pencetak generasi yang akan meneruskan cita-cita dan kelestarian hidup juga yang akan menjaga peradapan manusia. Bagaian generasi adalah anak-anak yang lahir sangat perlu upaya untuk mengarahkan mereka untuk menjadi insan yang bermanfat. Suatu keberhasilan pendidikan tidak hanya bertumpu pada akan tetapi juga bertumpu pada orang tua sebagai pengasuh pertama. Alquran menjawab semua permasalahan hidup manusia dari segala aspek kehidupan termasuk salah satunya adalah pendidikan yang ditekankan pada pengasuh yang pertama yaitu orang tua.
Yang menjadi rumusan/ fokus pada kajian ini adalah
1. Bagaiman bentuk tanggungjawab orangtua terhadap anak menurut ajaran Islam ?
2. Bagaiman tanggung-jawab orangtua terhadap anak dalam Surat At Tahrim ayat 6 ?
3. Bagaimana tanggung-jawab orangtua terhadap anak dalam Surat Luqman ayat 13, 16, dan 17 ?
Tujuan penelitian untuk memberikan masukan bagi masyarakat tentang tanggung-jawab orang tua terhadap anak, menurut agama Islam yang di perintahkan dala Surat Luqman Ayat 13, 16 dan 17 serta Surat At Tahrim ayat 6.
Metode yang digunakan adalah metode Library Research yaitu studi kepustakaan untuk pengumpulan data dan metode analisis isi (content analysis) yaitu pendiskripsian secra obyektif sistematis dan kuantitatif isi yang tampak.
Dari pembahasan skripsi ini dapat diambil kesimpulan bahwa tanggung jawab orang tua adalah mengajak kebaikan, mencegah kemungkaran, memelihara dan membantu , membimbing ke jalan yang benar hati-hati berperilaku dan selalu beribadah kepada Allah. Nilai yang terkandung di dalam surat Luqman ayat 13,16,17 dan at Tahrim ayat 6 menurut penafsir adalah pendidikan (tauhid), beribadah kepada Allah, Amar ma’ruf nahi mungkar (muamalah)






[1]) Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Semarang. PT. Karya Toha Putra, 1998















BAB I
PENDAHULUAN






A. LATAR BELAKANG MASALAH
Menurut syariat Islam, orang tua memiliki kedudukan yang sangat penting di sisi Allah SWT, dalam kaitannya dengan pendidikan anak. Artinya anak bagi orang tua adalah amanat dan rahmat Allah SWT. Sekaligus media beramal, penyambung cita-cita, penompang di hari tua dan juga mahluk yang perlu dididik. Orangtua itu biasanya terdiri dari bapak dan ibu yang membentuk keluarga. Didalam keluarga diikat oleh perkawinan antara ibu dan bapak. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan YME. [1] Kemudian didalam perkawinan itu lahirlah dengan apa yang disebut anak-anak yang merupakan keturunannya.
Imam Al-Ghozaly mengatakan dalam kitab “Ihya Ulumiddin” nya dalam jilid III, : “Bahwa anak-anak itu amanah bagi kedua orangtuanya, hatinya yang masih suci itu permata yang paling mahal yang bersih dan suci dari segala macam coretan dan lukisan, dia dsapat menerima apa saja yang dicoretkan padanya dan dapat menyenangi apa saja yang disuguhkan kepadanya. Jika dia dibiasakan denga baik dan diajarkan, maka dia akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan kebaikan itu dan selanjutnya dia akan jadi orang bahagia di dunia dan akhirat, sedangkan kedua orangtuanya, guru-gurunya maupun pendidiknya akan ikut mendapatkan pahalanya. Tetapi sebaliknya jika dia dibiasakan dengan jelek, dan dibiasakan liar seperti binatang, dia akan menjadi orang celaka dan binasa, maka kedua orangtuanya walinya dan penanggung jawabnya akan ikut memikul dosanya. Anak anak dengan permata jiwa tersebut dijadikan dalam keadaan masih dapat menerima hal-hal baik dan buruk. Ayah ibundanyalah yang mengantarkan pada yang baik atau yang buruk.[2]
Didalam ajaran Islam, anak yang lahir kedunia ini memiliki hak-hak dan kewajiban tertentu yang harus ditunaikan oleh kedua orang tuanya sebagai sebagai pelaksana tanggung jawab mereka kepada Allah dan untuk kelestarian keturunan. Dengan pendidikan orang tua yang penuh tanggung jawab diharapkan kelak anak dapat menlaksanakan perintah Allah dengan baik, berakhlak mulia dan hormat kepada orang tuanya.
Untuk dapat melaksanakan perintah Allah dan beraklaq mulia maka orang tua harus mendidik ajaran agama semaksimal mungkin. Dibutuhkan kerja extra keras dalam mempersiapkan diri kearah itu.
Kerja keras orang tua dan masyarakat mengenai kehidupan anak-anak masa sekarang maupun masa yang akan datang harus bisa menjaga dan membentengi diri dari maraknya budaya pop, glamor, santai, hura-hura serta krisis moral yang melanda masyarakat modern.
Dalam Undang – Undang SISDIKNAS No. 20. Tahun 2003 bagian kedua hak dan kewajiban orang tua, pasal 7 , yaitu :









  1. Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tetang perkembangan pendidikan anaknya.






  2. Orangtua dari anak usia wajib belajar berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya. [3]





Dengan cara mendidik pengetahuan agama maupun umum dengan sungguh-sungguh baik secara formal maupun non formal. Orang tua yang diberi amanah kepada Allah, seharusnya mendidik anaknya agar mendapat ilmu yang bermanfaat, serta berguna untuk kemajuan atau kemaslakatan umat manusia. Untuk meningkatkan SDM (Sumber Daya Manusia), orang tua di Indonesia harusnya menyekolahkan anak-anaknyua minimal pendidikan dasar 9 tahun. Agar mendapat pengetahuan dan ketrampilan dasar, baik itu lembaga formal maupun lembaga non formal.
Namun sering terjadi karena minimnya pengetahuan orang tua, mereka tidak tahu manfaat pendidikan sebagai investasi. Oleh karena itu mereka banyak mengira , baik buruknya anak sepenuhnya tergantung dari baik buruknya tempat pendidikan yang diberikan ditempat-tempat pendidikan resmi seperti sekolah / madrasah, mereka melupakan bahwa betapa besar pengaruh yang diterima jiwa anak dari lingkungan rumah tangga dan keluarganya. [4]
Selain itu juga bisa disebabkan minimnya pengetahuan orangtua termasuk pengetahuan agama, yang seharusnya sebagai pengemban amanah dari Allah, tahu akan tanggung jawab orangtua terhadap anak-anaknya menjaga agar selamat dunia akhirat, sebagaimana diatur dalam agama Islam. Agama menekankan bahwa manusia bukannya hidup tanpa makna, tetapi manusia diciptakan untuyk mengabdi kepada-Nya. Dan dalam rangka pengabdian itulah manusia mempunyai kewajiban, baik terhadap dirinya sendiri, keluarganya yang kecil maupun besar, masyarakat nbahkan kepada seluruh alam ini. [5]
Islam adalah Agama yang universal yaitu agama yang menbgatur berbagai bidang diantaranya adalam masalah muamalah (kemanusiaan) yang didalamnya termasuk pendidikan Ilmu Pengetahuan, kebudayaan, sosial, ekonami, politik, kehidupan lingkungan dan kesehatan.
Dalam bidang pendidikan, Islam memiliki ajaran yang khas yaitu pendidikan adalah hak setiap orang baik laki-laki maupun perempuan yang berlangsung sepanjang hayat.
Dalam bidang sosial Islam menjunjung tinggi tolong menolong, saling menasehati, tentang kewajiban dan kesabaran, egolietr (kesamaan derajat), tenggang rasa dan kebersamaan.
Menurut penelitian yang dilakukan Jalaludin Rahmat yang dikutip oleh H Abudin Nata, dalam bukunya Metode Studi Islam , “Islam agama yang menekankan urusan masalah sosial lebih besar daripada urusan ibadah”. [6]






Dalam bidang ekonomi, Islam memandang bahwa kehidupan yang dilakukan manusia adalah yang seimbang antara jasmani dan rohani, dunia dan akhirat. Maka kaum muslimin harus mempelajari ajaran islam dengan benar dan menyeluruh serta terintegral agar mampu mengatasi masalah yang dihadapi di kehidupan dengan benar, sesuai yang diajarkan islam. Oleh karena itu dalam rangka mempersiapkan anak-anak kita yang akan menjadi penerus generasi kita, maka kewajiban orang tua menjadi sangat kompleks dan penting, terlebih banyak fenomena yang kita jumpai pada remaja dijaman sekarang adanya pergaulan bebas, tawuran, miras dan sebagainya.






Jika dibiasakan dan diajarkan kebaikan, ia akan tumbuh dalam kebaikan. Tetapi jika dibiasakan kejelekan tanpa ada kontrol niscaya akan menjadi jahat dan binasa. Maka orang tua berkewajiban untuk memelihara, mendidik dan membina dengan ajaran-ajaran Islam Rasulullah SAW bersabda :






عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ اَوْيُنَصِّرَانِهِ اَوْيُمَجِّسَانِهِ كَمَثَلِ الْبَهِيْمَةِ هَلْ تَرَفِهَا جَدْعَاءَ. (رواه البخارى






Artinya : Dari Abu Hurairah ra. ia berkata : Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak ada anak yang dilahirkan kecuali dilahirkan atas kesucian. Dan orang tuanya menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi sebagaimana binatang itu dilahirkan dengan lengkap. Apakah kamu melihat binatang lahir dengan terputus (hidung, teinga dan lain-lain)?” (HR. Bukhari). [7]






Begitu pentingnya kewajiban dan tanggung jawab orang tua yang harus diberikan kepada anaknya itulah yang melatarbelakangi penulis untuk mengangkat sebuah judul kajian yaitu : “Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak Menurut Ajaran Agama Islam : Kajian Tafsir Surat Luqman 13, 16, 17 Dan Surat At Tahrim Ayat 6"

B. Penegasan Istilah






1. Penegasan Konseptual





a. Pengertian Tanggung Jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dsb)
b. Orang Tua adalah ayah dan ibu kandung yang melahirkan anak
a. Anak adalah keturunan kedua, yang masih kecil belum dewasa.
b. Agama Islam adalah agama yang di ajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, berpedoman pada Al-Quran.[8]







2. Penegasan Operasional
Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak Menurut Ajaran Agama Islam : Kajian Tafsir Surat Luqman ayat 13, 16, 17 dan Surat At Tahrim ayat 6 disini yang dimaksud adalah segala sesuatu yang wajib dilakukan orang tua kandung terhadap anak kandungnya yang belum dewasa menurut ajaran agama Islam yakni agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, yang dikaji/dijabarkan dari Surat Luqman ayat 13, 16, 17 dan Surat At Tahrim ayat 6







C. Fokus Penelitian
Fokus penelitian dalam kajian ini dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Bagaiman bentuk tanggungjawab orangtua terhadap anak menurut ajaran Islam ?
2. Bagaimana tanggung-jawab orangtua terhadap anak dalam Surat Luqman ayat 13, 16, dan 17 ?
3. Bagaiman tanggung-jawab orangtua terhadap anak dalam Surat At Tahrim ayat 6 ?







D. Tujuan Kajian
Sesuai fokus penelitian di atas, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi yang jelas dan rinci tentang :
1. Mengetahui bentuk tanggungjawab orangtua terhadap anak menurut ajaran Islam secara umum.
2. Mengetahui konsep tanggung jawab orangtua terhadap anak dalam Surat Luqman ayat 13, 16, dan 17 ?
3. Mengetahui konsep tanggung jawab orangtua terhadap anak dalam Surat At-Tahrim ayat 6.







E. Kegunaan Hasil Kajian
Adapun manfaat kajian adalah sebagai berikut :
1. Bagi Penulis sebagai sarana mengaplikasikan keilmuan yang didapat dari perkuliahan Tarbiyah, Prodi Pendidikan Agama Islam, Sekolah Tinggi Agama Islam Diponegoro Tulungagung.
2. Memperluas wawasan penulis tentang tanggungjawab orangtua terhadap anak menurut ajaran Islam.
3. Memberikan informasi bagi masyarakat, khususnya orang tua dalam menjalankan kewajibannya terhadap anak-anaknya.
4. Dapat menjadi masukan dan tambahan cakrawala pandang, bagi mahasiswa lain yang akan membuat makalah atau skripsi yang mempunyai tema sejenis.







F. Metode Kajian
1. Data dan Sumber Data
Sumber Data diambil dari Al Quran dan Terjemahan, Tafsir Al Qurtan, buku-buku dan berbagai sumber lain yang relevan terhadap Judul skripsi
2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam skripsi ini adalah Library Reserch yaitu studi kepustakaan.[9] Studi tersebut dimaksudkan untuk mengungkapkan data dari berbagai karya pustaka baik klasik maupun moderen , yaitu berupa literatur, dokumen, artikel, maupun bentuk informasi lain yang terkait dengan tema yang dibahas. Metode Library Reserch ini menjadi penting mengingat dalan hal ini penulis membahas tema yang berkisar pada teks Al-Quran tafsiran seseorang atas teks Al-Quran tersebut.
3. Metode Analisa Data
Metode analisa data pada skripsi ini menggunakan metode analisis isi (content analysis). Metode ini menurut Barcus seperti yang dikutipoleh Noeng Muhajir dalam bukunya Metodologi Penelitian Kualitatif adalah merupakan anilisis ilmiyah tetang pesan atau komunikasi. Secara teknis metode ini mencakup upaya-upaya mengklasifikasi tanda-tanda yang dipakai dalam komunikasi, menggunakan kreteria sebagai dasar Klasifikasi, menggunakan teknis analisis tertentu untuk membuat prediksi. [10]
Atau menurut Barelson seperti yang dikutip oleh Klaus Krippendof dalam bukunya Analisi Isi : Pengantar Teori dan Metodologi, bahwa Analisis Isi adalah tehnik penelitian untuk mendiskripsikan secara obyektif, sistematis dan kuantitatrif isi yang nampak. [11]







F. Sistematika Pembahasan
Dalam sebuah karya ilmiah adanya sistematika merupakan bantuan yang dapat digunakan oleh pembaca untuk mempermudah mengetahui urut-urutan sistematis dari isi karya ilmiah tersebut. Sistematika pembahasan dalam skripsi ini terdiri dari empat bab yaitu :
Bab I adalah Pendahuluan, yang berisi; latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan kajian, manfaat kajian, dan sistematika pembahasan.
Bab II adalah Tanggung Jawab Orang Tua yang berisi tentang tanggung jawab orangtua terhadap anak, terdiri dari : pengertian tanggung jawab, tanggung jawab pada anak, tanggungjawab pendidikan, tanggungjawab ekonomi, pengertian orang tua dan anak menerut islam, hak orang tua dan hak anak..
Bab III adalah Tafsir Surat Luqman Ayat 13, 16, 17 dan Surat At Tahrim Ayat 6
1. Teks ayat dan terjemahan dan tafsir isi kandungan Surat Luqman ayat 13, 16 dan 17
2. Teks ayat dan terjemahan dan tafsir isi kandungan Surat At-Tahrim ayat 6
Bab IV adalah analisis tentang tanggung jawab orangtua terhadap anak menurut ajaran islam dengan Surat Luqman ayat, 13, 16, 17dan Surat At Tahrim ayat 6 yang meliputi tiga sub pokok pembahasan yaitu :
1. Analisis tanggung-jawab orangtua terhadap anak menurut ajaran agama islam secara umum.
2. Analisa kandungan Surat Luqman ayat 13, 16, 17 dan korelasinya dengan tanggung jawab orang tua terhadap anak.
3. Analisa kandungan Surat At-Tahrim ayat 6 dan korelasinya dengan tanggung jawab orang tua terhadap anak.
Bab V adalah Penutup yang berisikan tentang kesimpulan dari uraian masing-masing bab, dan ditambah dengan saran-saran sebagai pelengkap penulisan skripsi ini.


[1] Bidang Urusan Agama Islam Kantor Wilayah Depag Prop Jawa Timur, Himpunan Seputar Kepenghuluan, 2007, 7
[2] M. Tholhah Hasan, Islam dan Masalah SDM ,Jakarta:lantabora Press, 2003,cet ke -1.19.
[3] UU RI No. 20 Th 2003, tentang Sistim Pendidikan Nasional Bandung : CV. Umbara,2003, cet ke 1, 9
[4] M. Tholhah Hasan, Islam....,20
[5] M. Quraish Shihab, Membumikan AL Quran,(Jakarta: Mizan, 2002 ),cet ke-24,,293
[6]Abudin Nata, Metodologi Studi Islam,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002),89
[7] Ahmad Sunarto, Tarjamah Shahih Bukhari Jilid II ,Semarang : CV. Asy-Syifa’, 1993, 307M. Thomas.
[8] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1989.
[9]Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid 1,Jogjakarta: Andi Offset, 1993, 9.
[10] Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kwantitatif, (Jogjakarta : Rake Sarasin, 1992), &6-79.
[11] Klaos Krinpedndof, Analisis Isi : Pengantar Teori dan Metodologi, Terj. Farit Wadji, Jakarta, Rajawali Prees, 1993,15-16.

Minggu, 20 Maret 2011

Kamis, 17 Maret 2011

TEORI KOGNITIVISTIK

TEORI KOGNITIVISTIK
(RIFAI KARYAWANSAH, S.Pd.I)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Keberhasilan seorang guru dalam menyampaikan suatu materi pelajaran, tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuannya dalam menguasai materi yang akan disampaikan. Akan tetapi ada faktor-faktor lain yang harus dikuasainya sehingga ia mampu menyampaikan materi secara profesional dan efektif. Menurut Zakiyah Daradjat, pada dasarnya ada tiga kompetensi yang harus dimiliki oleh guru yaitu kompetensi kepribadian, kompetensi penguasaan atas bahan, dan kompetensi dalam cara-cara mengajar.
Belajar seharusnya menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang paling penting dalam upaya mempertahankan hidup dan mengembangkan diri. Dalam dunia pendidikan belajar merupakan aktivitas pokok dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Melalui belajar seseorang dapat memahami sesuatu konsep yang baru, dan atau mengalami perubahan tingkah laku, sikap,dan ketrampilan.
Menurut Herman Hudoyo “Belajar merupakan suatu proses aktif dalam memperoleh pengalaman, pengetahuan baru, sehingga menyebabkan perubahan tingkah laku. Misalnya setelah belajar siswa mampu mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan dimana sebelumnya ia tidak dapat melakukannya”. dikutip dari pendapat Oemar Hamalik “Belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan.”2 Belajar memegang peranan penting didalam perkembangan, kebiasaan, sikap, keyakinan, tujuan, kepribadian dan bahkan persepsi manusia.
Banyak teori belajar yang menginspirasi dan mendasari lahirnya macam-macam strategi pembelajaran yang memuat classical interactionseperti teori behaviorisme, teori kognitivisme, dan teori konstruktivisme. Dilihat dari diterapkannya strategi dan metode pengajaran yang ilmiah, yang mendasarkan pada pemahaman tentang teori-teori pembelajaran dan pertimbangan pendekatan belajar siswa (student learning approach). Pemahaman tentang pengajaran (teaching) juga berkembang, dari teacher centered, yang lebih menekankan pada content oriented, menjadi student centered yang lebih berorientasi pada memfasilitasi terjadinya kegiatan belajar (learning oriented).
Pada makalah ini penulis lebih dalam menjelaskna masalah teori kognitivisme, teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif dan berbekas”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana pengertian dan karakteristik teori kognitivistik ?
2. Siapa saja tokoh-tokoh teori kognitivistik ?
3. Bagaimana pandangan teori pembelajaran kognitivistik terhadap belajar mengajar dan pembelajaran?
4. Bagimana implikasi teori pembelajaran kognitivistik dalam pembelajaran ?

C. Tujuan
Adapun tujuan makalah ini adalah untukmengetahui :
1. Pengertian dan karakteristik teori kognitivistik
2. Tokoh-tokoh teori pembelajaran kognitivistik
3. Pandangan terhadap belajar mengajar dan pembelajaran
4. Implikasi teori pembelajaran kognitivistik dalam pembelajaran

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Teori Kognitif dan Karakteristiknya.
Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah pengertian, mengerti. Pengertian yang luasnya cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan.
Dalam pekembangan selanjutnya, kemudian istilah kognitif ini menjadi populer sebagai salah satu wilayah psikologi manusia / satu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan masalah pemahaman, memperhatikan, memberikan, menyangka, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, pertimbangan, membayangkan, memperkirakan, berpikir dan keyakinan. Termasuk kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan rasa. Menurut para ahli jiwa aliran kognitifis, tingkah laku seseorang itu senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi.
Teori belajar kognitiv lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, lebih dari itu belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati.

B. Tokoh-tokoh Teori Belajar Kognitif

1. Jean Piaget, teorinya disebut “Cognitive Developmental”
Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dan fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Piaget adalah ahli psikolog developmentat karena penelitiannya mengenai tahap tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur yang mempengaruhi kemampuan belajar individu. Menurut Piaget, pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan-kemapuan mental yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan intelektuan adalah tidak kuantitatif, melainkan kualitatif. Dengan kata lain, daya berpikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif.Menurut Suhaidi Jean Piaget mengklasifikasikan perkembangan kognitif anak menjadi empat tahap:
1. Tahap sensory – motor, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 0-2 tahun, Tahap ini diidentikkan dengan kegiatan motorik dan persepsi yang masih sederhana.
2. Tahap pre – operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2-7 tahun. Tahap ini diidentikkan dengan mulai digunakannya symbol atau bahasa tanda, dan telah dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak abstrak.
3. Tahap concrete – operational, yang terjadi pada usia 7-11 tahun. Tahap ini dicirikan dengan anak sudah mulai menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis. Anak sudah tidak memusatkan diri pada karakteristik perseptual pasif.
4. Tahap formal – operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 11-15 tahun. Ciri pokok tahap yang terahir ini adalah anak sudah mampu berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola pikir “kemungkinan”.
Dalam pandangan Piaget, proses adaptasi seseorang dengan lingkungannya terjadi secara simultan melalui dua bentuk proses, asimilasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi jika pengetahuan baru yang diterima seseorang cocok dengan struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang tersebut. Sebaliknya, akomodasi terjadi jika struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang harus direkonstruksi/di kode ulang disesuaikan dengan informasi yang baru diterima.Dalam teori perkembangan kognitif ini Piaget juga menekankan pentingnya penyeimbangan (equilibrasi) agar seseorang dapat terus mengembangkan dan menambah pengetahuan sekaligus menjaga stabilitas mentalnya. Equilibrasi ini dapat dimaknai sebagai sebuah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamya. Proses perkembangan intelek seseorang berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan akomodasi

2. Jerome Bruner Dengan Discovery Learningnya
Bruner menekankan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupan. Bruner meyakini bahwa pembelajaran tersebut bisa muncul dalam tiga cara atau bentuk, yaitu: enactive,iconic dan simbolic.Pembelajaran enaktif mengandung sebuah kesamaan dengan kecerdasan inderawi dalam teori Piaget. Pengetahuan enaktif adalah mempelajari sesuatu dengan memanipulasi objek – melakukan pengatahuan tersebut daripada hanya memahaminya. Anak-anak didik sangat mungkin paham bagaimana cara melakukan lompat tali (‘melakukan’ kecakapan tersebut), namun tidak terlalu paham bagaimana menggambarkan aktifitas tersebut dalam kata-kata, bahkan ketika mereka harus menggambarkan dalam pikiran.
Pembelajaran ikonik merupakan pembelajaran yang melalui gambaran; dalam bentuk ini, anak-anak mempresentasikan pengetahuan melalui sebuah gambar dalam benak mereka. Anak-anak sangat mungkin mampu menciptakan gambaran tentang pohon mangga dikebun dalam benak mereka, meskipun mereka masih kesulitan untuk menjelaskan dalam kata-kata.
Pembelajaran simbolik, ini merupakan pembelajaran yang dilakukan melalui representasi pengalaman abstrak (seperti bahasa) yang sama sekali tidak memiliki kesamaan fisik dengan pengalaman tersebut. Sebagaimana namanya, membutuhkan pengetahuan yang abstrak, dan karena simbolik pembelajaran yang satu ini serupa dengan operasional formal dalam proses berpikir dalam teori Piaget.
Jika dikorelasikan dengan aplikasi pembelajaran, Discoveri learningnya Bruner dapar dikemukakan sebagai berikut:
1. Belajar merupakan kecenderungan dalam diri manusia, yaitu Self-curiousity(keingintahuan) untuk mengadakan petualangan pengalaman.
2. Belajar penemuan terjadi karena sifat mental manusia mengubah struktur yang ada. Sifat mental tersebut selalu mengalir untuk mengisi berbagai kemungkinan pengenalan.
3. Kualitas belajar penemuan diwarnai modus imperatif kesiapan dan kemampuan secara enaktif, ekonik, dan simbolik.
4. Penerapan belajar penemuan hanya merupakan garis besar tujuan instruksional sebagai arah informatif.
5. Kreatifitas metaforik dan creative conditioning yang bebas dan bertanggung jawab memungkinkan kemajuan.

3. Teori Belajar Bermakna Ausubel.
Psikologi pendidikan yang diterapkan oleh Ausubel adalah bekerja untuk mencari hukum belajar yang bermakna, berikut ini konsep belajar bermakna David Ausubel.
Pengertian belajar bermakna
Menurut Ausubel ada dua jenis belajar : (1) Belajar bermakna (meaningful learning) dan (2) belajar menghafal (rote learning). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Sedangkan belajar menghafal adalah siswa berusaha menerima dan menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa makna.
Sebagai ahli psikologi pendidikan Ausubel menaruh perhatian besar pada siswa di sekolah, dengan memperhatikan/memberikan tekanan-tekanan pada unsur kebermaknaan dalam belajar melalui bahasa (meaningful verbal learning). Kebermaknaan diartikan sebagai kombinasi dari informasi verbal, konsep, kaidah dan prinsip, bila ditinjau bersama-sama. Oleh karena itu belajar dengan prestasi hafalan saja tidak dianggap sebagai belajar bermakna. Maka, menurut Ausubel supaya proses belajar siswa menghasilkan sesuatu yang bermakna, tidak harus siswa menemukan sendiri semuanya. Malah, ada bahaya bahwa siswa yang kurang mahir dalam hal ini akan banyak menebak dan mencoba-coba saja, tanpa menemukan sesuatu yang sungguh berarti baginya. Seandainya siswa sudah seorang ahli dalam mengadakan penelitian demi untuk menemukan kebenaran baru, bahaya itu tidak ada; tetapi jika siswa tersebut belum ahli, maka bahaya itu ada.
Ia juga berpendapat bahwa pemerolehan informasi merupakan tujuan pembelajaran yang penting dan dalam hal-hal tertentu dapat mengarahkan guru untuk menyampaikan informasi kepada siswa. Dalam hal ini guru bertanggung jawab untuk mengorganisasikan dan mempresentasikan apa yang perlu dipelajari oleh siswa, sedangkan peran siswa di sini adalah menguasai yang disampaikan gurunya.
Belajar dikatakan menjadi bermakna (meaningful learning) yang dikemukakan oleh Ausubel adalah bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik itu sehingga peserta didik itu mampu mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya.
Belajar seharusnya merupakan apa yang disebut asimilasi bermakna, materi yang dipelajari di asimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dipunyai sebelumnya. Untuk itu diperlukan dua persyaratan :
a. Materi yang secara potensial bermakna dan dipilih oleh guru dan harus sesuai dengan tingkat perkembangan dan pengetahuan masa lalu peserta didik.
b. Diberikan dalam situasi belajar yang bermakna, faktor motivasional memegang peranan penting dalam hal ini, sebab peserta didik tidak akan mengasimilasikan materi baru tersebut apabila mereka tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana melakukannya. Sehingga hal ini perlu diatur oleh guru, agar materi tidak dipelajari secara hafalan.
Berdasarkan uraian di atas maka, belajar bermakna menurut Ausubel adalah suatu proses belajar di mana peserta didik dapat menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya dan agar pembelajaran bermakna, diperlukan 2 hal yakni pilihan materi yang bermakna sesuai tingkat pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki siswa dan situasi belajar yang bermakna yang dipengaruhi oleh motivasi.
Dengan demikian kunci keberhasilan belajar terletak pada kebermaknaan bahan ajar yang diterima atau yang dipelajari oleh siswa. Ausubel tidak setuju dengan pendapat bahwa kegiatan belajar penemuan (discovery learning) lebih bermakna daripada kegiatan belajar penerimaan (reception learning). Sehingga dengan ceramahpun, asalkan informasinya bermakna bagi peserta didik, apalagi penyajiannya sistematis, akan dihasilkan belajar yang baik.C. Pandangan Teori Kognitivisme terhadap Belajar Mengajar dan Pembelajaran
Teori kognitif adalah teori yang umumnya dikaitkan dengan proses belajar. Kognisi adalah kemampuan psikis atau mental manusia yang berupa mengamati, melihat, menyangka, memperhatikan, menduga dan menilai. Dengan kata lain, kognisi menunjuk pada konsep tentang pengenalan. Teori kognitif menyatakan bahwa proses belajar terjadi karena ada variabel penghalang pada aspek-aspek kognisi seseorang.
Teori belajar kognitiv lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, lebih dari itu belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati.Dari beberapa teori belajar kognitif diatas (khusunya tiga di penjelasan awal) dapat pemakalah ambil sebuah sintesis bahwa masing masing teori memiliki kelebihan dan kelemahan jika diterapkan dalam dunia pendidikan juga pembelajaran. Jika keseluruhan teori diatas memiliki kesamaan yang sama-sama dalam ranah psikologi kognitif, maka disisi lain juga memiliki perbedaan jika diaplikasikan dalam proses pendidikan.
Sebagai misal, Teori bermakna ausubel dan discovery Learningnya bruner memiliki sisi pembeda. Dari sudut pandang Teori belajar Bermakna Ausubel memandang bahwa justeru ada bahaya jika siswa yang kurang mahir dalam suatu hal mendapat penanganan dengan teori belajar discoveri, karena siswa cenderung diberi kebebasan untuk mengkonstruksi sendiri pemahaman tentang segala sesuatu. Oleh karenanya menurut teori belajar Bermakna guru tetap berfungsi sentral sebatas membantu mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman yang hendak diterima oleh siswa namun tetap dengan koridor pembelajaran yang bermakna.
Dari poin diatas dapat pemakalah ambil garis tengah bahwa beberapa teori belajar kognitif diatas, meskipun sama-sama mengedepankan proses berpikir, tidak serta merta dapat diaplikasikan pada konteks pembelajaran secara menyeluruh. Terlebih untuk menyesuaikan teori belajar kognitif ini dengan kompleksitas proses dan sistem pembelajaran sekarang maka harus benar-benar diperhatikan antara karakter masing-masing teori dan kemudian disesuakan dengan tingkatan pendidikan maupun karakteristik peserta didiknya.

D. Implikasi Teori Kognitivistik dalam Pembelajaran
Dalam perkembangan setidaknya ada tiga teori belajar yang bertitik tolak dari teori kognitivisme ini yaitu: Teori perkembangan piaget, teori kognitif Brunner dan Teori bermakna Ausubel. Ketiga teori ini dijabarkan sebagai berikut:

No 1 Teori Kognitif Piaget Brunner Ausubel
Proses belajar terjadi menurut pola tahap-tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umur siswa. Proses belajar terjadi melalui tahap-tahap:
a.Asimilasi
b.Akomodasi
c.Equilibrasi

No 2 teori kognitif Brunner
Proses belajar lebih ditentukan oleh karena cara kita mengatur materi pelajaran dan bukan ditentukan oleh umur siswa
Proses belajar terjadi melalui tahap-tahap:
a.Enaktif (aktivitas)
b.Ekonik (visual verbal)
c.Simbolik

No.3 Teori bermakna Ausubel.
Proses belajar terjadi jika siswa mampu mengasimilasikan pengetahuan yang dimilikinya dengan pengetahuan baru
Proses belajar terjadi melaui tahap-tahap:
a.Memperhatikan stimulus yang diberikan
b.Memahami makna stimulus menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami.

Prinsip kognitivisme banyak dipakai di dunia pendidikan, khususnya terlihat pada perancangan suatu sistem instruksional, prinsip-prinsip tersebut antara lain:
1. Si belajar akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola dan logika tertentu.
2. Penyusunan materi pelajaran harus dari sederhana ke kompleks.
3. Belajar dengan memahami akan jauh lebih baik daripada dengan hanya menghafal tanpa pengertian penyajian.
Adapun kritik terhadap teori kognitivisme adalah:
1. Teori kognitif lebih dekat kepada psikologi daripada kepada teori belajar, sehingga aplikasinya dalam proses belajar mengajar tidaklah mudah.
2. Sukar dipraktekkan secara murni sebab seringkali kita tidak mungkin memahami “struktur kognitif” yang ada dalam benak setiap siswa.
Aplikasi teori belajar kognitivisme dalam pembelajaran, guru harus memahami bahwa siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya, anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar belajar menggunakan benda-benda konkret, keaktifan siswa sangat dipentingkan, guru menyusun materi dengan menggunakan pola atau logika tertentu dari sederhana kekompleks, guru menciptakan pembelajaran yang bermakna, memperhatian perbedaan individual siswa untuk mencapai keberhasilan siswa.
Dari penjelasan diatas jelas bahwa implikasinya dalam pembelajaran adalah seorang pendidik, guru ataupun apa namanya mereka harus dapat memahami bagaimana cara belajar siswa yang baik, sebab mereka para siswa tidak akan dapat memahami bahasa bila mereka tidak mampu mencerna dari apa yang mereka dengar ataupun mereka tangkap.,
Dari ketiga macam teori diatas jelas masing-masing mempunya implikasi yang berbeda, namun secara umum teori kognitivisme lebih mengarah pada bagaimana memahami struktur kognitif siswa, dan ini tidaklah mudah, Dengan memahami struktur kognitif siswa, maka dengan tepat pelajaran bahasa disesuaikan sejauh mana kemampuan siswanya. Selain itu, juga model penyusunan materi pelajaran bahasa arab hendaknya disusun berdasarkan pola dan logika tertentu agar lebih mudah dipahami. Penyusunan materi pelajaran bahasa arab di buat bertahap mulai dari yang paling sederhana ke kompleks. hendaknya dalam proses pembelajaran sebisa mungkin tidak hanya terfokus pada hafalan, tetapi juga memahami apa yang sedang dipelajari, dengan demikian jauh akan lebih baik dari sekedar menghafal kosakata.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah pengertian, mengerti. Pengertian yang luasnya cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan
Adapun tokoh-tokoh Teori Belajar Psikologi Kognitif adalah Jean Pieget, Jerome Bruner dan Ausubel.
Aplikasi teori belajar kognitivisme dalam pembelajaran, guru harus memahami bahwa siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya, anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar belajar menggunakan benda-benda konkret, keaktifan siswa sangat dipentingkan, guru menyusun materi dengan menggunakan pola atau logika tertentu dari sederhana kekompleks, guru menciptakan pembelajaran yang bermakna, memperhatian perbedaan individual siswa untuk mencapai keberhasilan siswa.


DAFTAR PUSTAKA


Abu Ahmadi dan Widodo Supriono. (1991). Psikologi Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Ali Sadikin. (2009). Ranah Kognitif, Afektif dan Spikomotor. Jakarta: Pt. Grafisindo.
Bjorklund, D.F. (2000). Children's Thinking: Developmental Function and individual differences. 3rd ed. Bellmont, CA : Wadsworth.
Bruno. (2010). Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Kalam Mulia.
Herman Hudoyo. (2008). Metode, Teknik, dan Strategi dalam Belajar. Bandung: Tarsito.
W.S Winkel. (1996). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Grasindo.
Zakiyah Daradjat. (1995). Metodi Khusus Pengajaran Agama Islam. akarta: Bumi Aksara.

teori behavioristik

TEORI PEMBELAJARAN BEHAVIORISTIK

TEORI BEHAVIORISTIK
RIFAI KARYAWANSAH, S.Pd.I

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang paling penting dalam upaya mempertahankan hidup dan mengembangkan diri. Dalam dunia pendidikan belajar merupakan aktivitas pokok dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Melalui belajar seseorang dapat memahami sesuatu konsep yang baru, dan atau mengalami perubahan tingkah laku, sikap,dan ketrampilan.
Banyak teori belajar yang menginspirasi dan mendasari lahirnya macam-macam strategi pembelajaran yang memuat classical interactionseperti teori behaviorisme, teori kognitivisme, dan teori konstruktivisme. Dilihat dari diterapkannya strategi dan metode pengajaran yang ilmiah, yang mendasarkan pada pemahaman tentang teori-teori pembelajaran dan pertimbangan pendekatan belajar siswa (student learning approach). Pemahaman tentang pengajaran (teaching) juga berkembang, dari teacher centered, yang lebih menekankan pada content oriented, menjadi student centered yang lebih berorientasi pada memfasilitasi terjadinya kegiatan belajar (learning oriented).
Pada makalah ini penulis lebih dalam menjelaskna masalah teori behavioristik, teori belajar behavioristik lebih menekankan pada proses pemberian stimulus (rangsangan) dan rutinitas respon yang dilakukan oleh siswa. Inti pembelajaran dalam pandangan behaviorisme terletak pada stimulus respon (S-R).

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana pengertian dan karakteristik teori behavioristik ?
2. Siapa saja tokoh-tokoh teori behavioristik ?
3. Bagaimana pandangan teori pembelajaran behavioristik terhadap belajar mengajar dan pembelajaran?
4. Bagimana implikasi teori pembelajaran behavioristik dalam pembelajaran ?

C. Tujuan
Adapun tujuan makalah ini adalah untukmengetahui :
1. Pengertian dan karakteristik teori behavioristik
2. Tokoh-tokoh teori pembelajaran behavioristik
3. Pandangan teori pembelajaran behavioristik terhadap belajar mengajar dan pembelajaran
4. Implikasi teori pembelajaran behavioristik dalam pembelajaran

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Teori behavioristik dan Karakteristiknya.

Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori belajar yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku (Hasil Belajar) sebagai hasil dari pengalaman
Teori belajar behaviorisme merupakan teori belajar yang telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Teori ini dicetuskan oleh Gage dan Berliner yang berisi tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman (Gage, Berliner, 1984) Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara individual (Degeng, 2006).

Prinsip-Prinsip dalam Teori Behavioristik
a) Obyek psikologi adalah tingkah laku.
b) Semua bentuk tingkah laku di kembalikan pada reflek.
c) Mementingkan pembentukan kebiasaan.
d) Perilaku nyata dan terukur memiliki makna tersendiri.
e) Aspek mental dari kesadaran yang tidak memiliki bentuk fisik harus dihindari.

Kelemahan Teori Behavioristik
a) Hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati
b) Kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri
c) Pebelajar berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif
d) Pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat
e) Kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar
Kelebihan Teori Behavioristik
Sesuai untuk perolehan kemampuan yang membutuhkan praktik dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflex.

B. Tokoh-tokoh Teori Belajar Behavioristik

a) Edward LeeThorndike
Menurutnya belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, juga dapat berupa pikiran, perasaan, gerakan atau tindakan. teori ini sering disebut teori koneksionisme.
Connectionism ( S-R Bond) adalah hukum belajar yang dihasilkan oleh Thorndike yang melakukan eksperimen yang terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
1) Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus – Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
2) Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pendayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
3) Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.

b) John Watson
Kajian tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperti Fisika atau Biologi yang berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur. Belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon, namun keduanya harus dapat diamati dan diukur.

c) Clark L. Hull
Semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Dorongan belajar (stimulus) dianggap sebagai sebuah kebutuhan biologis agar organisme mampu bertahan hidup.

d) Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan. Hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.

e) Burrhus Frederic Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Respon yang diterima seseorang tidak sesederhana konsep yang dikemukakan tokoh sebelumnya, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku.
Operant Conditioningadalah hukum belajar yang dihasilkan oleh B.F. Skinner yang melakukan eksperimen yang terhadap tikus menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
1) Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
2) Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.

C. Pandangan Teori Behavioristik terhadap Belajar Mengajar dan Pembelajaran

Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).
Pandangan behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang memengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara;
Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama;
Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.

D. Implementasii Teori Behavioristik dalam Pembelajaran
Implementasi teori ini dalam pembelajaran tergantung tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.Teori ini sangat sesuai untuk pengetahuan yang bersifat obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Dalam hal ini pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar
Menurut teori behaviorisme apa saja yang diberikan guru (stimulus) dan apa saja yang dihasilkan siswa (respons) semua harus bisa diamati, diukur, dan tidak boleh hanya implisit (tersirat). Faktor lain yang juga penting adalah faktor penguat (reinforcement). Penguat adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respons. Bila penguatan ditambah (positive reinforcement) maka respons akan semakin kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi (negative reinforcement) responspun akan tetap dikuatkan.. Misalnya bila seorang anak bertambah giat belajar apabila uang sakunya ditambah maka penambahan uang saku ini disebut sebagai positive reinforcement. Sebaliknya jika uang saku anak itu dikurangi dan pengurangan ini membuat ia makin giat belajar, maka pengurangan ini disebut negative reinforcement.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
Analisis Tentang teori Behavioristik Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997)
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.
Konsep evaluasi pendidikan sudah sangat jelas dalam teori ini yaitu melalui pengukuran, pengamatan. Sebab seseorang dikatakan belajar bila telah mengalami perubahan perilaku. Akan tetapi perlu diketahui bahwa tidak semua hasil belajar bisa diamati dan diukur, paling tidak dalam tempo seketika. Semua aspek materi juga tidak bisa diukur dengan teori ini. Evaluasi dilakukan untuk menilai hasil akhir dari penggunaan teori ini yaitu perubahan perilaku


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori belajar yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku (Hasil Belajar) sebagai hasil dari pengalaman
Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman (Gage, Berliner, 1984) Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya.

RUJUKAN


Gage, N.L., & Berliner, D. 1979. Educational Psychology. Second Edition, Chicago: Rand Mc. Nally]
Bell Gredler, E. Margaret. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali
Moll, L. C. (Ed.). 1994. Vygotsky and Education: Instructional Implications and Application of Sociohistorycal Psychology. Cambridge: Univerity Press
Degeng, I Nyoman Sudana. 1989. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variable. Jakarta: Depdikbud
Gagne, E.D., (1985). The Cognitive Psychology of School Learning. Boston, Toronto: Little, Brown and Company
Light, G. and Cox, R. 2001. Learning and TeacTeori Belajar Behaviori
Abu Ahmadi dan Widodo Supriono. (1991). Psikologi Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Ali Sadikin. (2009). Ranah Kognitif, Afektif dan Spikomotor. Jakarta: Pt. Grafisindo.
Bjorklund, D.F. (2000). Children's Thinking: Developmental Function and individual differences. 3rd ed. Bellmont, CA : Wadsworth.